Oleh : Eddy Prabowo Witanto (Program Studi Cina, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia).
FORUM DISKUSI MENGUPAS SEJARAH MASYARAKAT HAKKA (KHEK) DI PULAU BANGKA DAN BELITUNG.
Pangkal Pinang, Bangka, 3 Februari 2000
Masyarakat suku Hakka merupakan komunitas masyarakat asli Tionghoa yang dibesarkan dilingkungan yang terisolir dari penduduk setempat, akan tetapi mereka masih kental memelihara dan menjaga budaya asli Tionghoa.
Sejarah Umum Masyarakat Hakka
Cina sebagai satu kesatuan budaya terdiri dari berbagai suku bangsa. Satu dari 56 suku bangsa yang ada di Cina adalah suku bangsa Han. Suku tersebut merupakan satu suku bangsa yang besar dan mendominasi dalam jumlah, yaitu sekitar 94% dari total penduduk Cina (cf. Gondomono, 1997), oleh karena itu, dalam berbagai penelitian tentang masyarakat dan kebudayaan Cina kita kenal apa yang disebut orang Han. Suku bangsa Han sendiri sebenarnya bukanlah sebuah suku bangsa yang utuh karena di dalamnya masih terbagi-bagi lagi dalam berbagai sub suku bangsa, antara lain Yue atau Punti atau Bendi (kita kenal sebagai orang Kanton atau Kwongfu) mengokupasi hampir seluruh wilayah propinsi Guangdong, Min (dikenal sebagai orang Hokkian) dari propinsi Fujian, Shandong, Hakka atau Khek atau Kejia, Sichuan, Shanghai, Tiochiu, Xinjiang-Uygur (kelompok minoritas yang beragama Islam), Hui, dan lainnya.
Masing-masing memiliki karakteristik kehidupan sosial dan ekonomi yang khas. Oleh para ahli bahasa (linguist), seringkali suatu sub suku bangsa masih dibedakan lagi dalam beberapa penutur dialek, seperti orang-orang Min yang mayoritas adalah orang Hokkian masih terbagi dalam 5 penutur dialek, diantaranya adalah Hinghua (Xinghua), Fuzhou (Foochou), dan sebagainya. Dengan demikian, dapatlah secara singkat kita ketahui bahwa Cina tidaklah merupakan suatu masyarakat yang homogen.
Hakka sebagai salah satu sub suku bangsa yang ada di Cina merupakan salah satu kelompok masyarakat yang memiliki rentang sejarah panjang. Dari berbagai kajian sejarah dapat diketahui bahwa Hakka berasal dari wilayah geografis Cina Utara, yaitu dari propinsi Shaanxi , suatu wilayah yang sering dianggap sebagai bagian dari tempat munculnya peradaban Cina (part of early Chinese civilization). Dalam sejarah, setidaknya telah 5 kali kelompok Hakka bermigrasi (internal migration), dimulai sekitar masa dinasti Tang (600-800 M). Berturut-turut mereka melakukan migrasi ke arah selatan. Setiap kali mereka mencoba untuk menetap di suatu wilayah yang dianggap subur, setiap kali pula wilayah itu sudah dihuni oleh kelompok lain, diikuti dengan munculnya friksi dalam pengokupasian suatu wilayah. Sangat jarang mereka mendapat tempat yang benar-benar subur, yang ada hanyalah tempat-tempat tandus. Berulang kali mereka melakukan migrasi hingga sampailah mereka ke daerah Cina Selatan yang relatif dianggap beriklim sejuk, hangat, dan subur. Namun tidaklah dilupakan bahwa dalam perjalanan migrasi itu Hakka tidak lagi selalu dalam satu kesatuan kelompok yang besar. Beberapa dari mereka memilih untuk menetap di propinsi Sichuan yang berbukit-bukit, kelompok besar lain memilih tempat di suatu daerah yang terletak diperbatasan 3 propinsi (yaitu Guangdong, Jiangxi, dan Fujian). Daerah itulah yang kini dikenal sebagai Hakka heartland dengan kota Meixien dan Dapu sebagai pusatnya. Saat mencoba untuk masuk ke propinsi Guangdong, mereka harus berhadapan dengan satu kelompok besar masyarakat asli yang sudah menguasai tempat subur di delta Sungai Mutiara (Pearl River Delta), yaitu kelompok Yue atau Punti atau Bendi yang dalam kajian budaya disebut masyarakat Kwongfu atau orang Kanton. Friksi yang terjadi sangatlah terkenal dalam sejarah, yaitu Hakka-Yue/Bendi War sekitar pertengahan sampai akhir tahun 1600. Akibatnya, kelompok Hakka yang mencoba masuk ke daerah itu menjadi semakin terpencar, dengan kelompok utama tetap menguasai wilayah perbatasan 3 propinsi tadi. Migrasi terakhir, kelima, yang dilakukan adalah seiring perpindahan ke Taiwan, Hongkong, dan Asia Tenggara, sekitar awal tahun 1700. Saat itu sekaligus juga merupakan saat mulai dibukanya beberapa areal pertambangan dan perkebunan di berbagai tempat di Asia Tenggara.
Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat Hakka tidaklah berbeda dengan kelompok-kelompok suku bangsa Cina lainnya. Sistem perkawinan monogami, kekerabatan patrilineal, dan tradisi-kepercayaan tidak ubahnya dengan kelompok lainnya. Hanya saja yang amat menarik dicermati adalah sistem permukiman mereka, yaitu Hakka earthenbuilding, semacam rumah besar, bundar, terbuat dari bata jemur, banyak kamar dan multi tingkat (multistoreys), dan dapat menampung sekitar 500 kk; dapat dikatakan rumah flat atau bunker. Terbentuknya sistem permukiman ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah migrasi mereka, yaitu sering terjadinya friksi dengan masyarakat setempat. Mereka pun tidak banyak mengembangkan sistem seni dan hiasan dekoratif rumah. Ciri kehidupan yang agak nomadik tidak memungkinkan mereka untuk benar-benar mengembangkan sistem seni dan ornamen dekoratif. Ciri kehidupan yang struggle for life amat mewarnai mereka, karena itu tidak heran jika mereka terbiasa untuk bekerja kasar, dan sistem gender tidak begitu mencolok, karena wanita pun terbiasa untuk bekerja keras. Pengecilan kaki (footbinding) yang terkenal dalam masyarakat Cina tidak dikenal dalam kehidupan mereka. Dalam kehidupan ritual, mereka amat memuja Guangong (Kuankong), dewa perang masyarakat Cina. Semua itu lebih disebabkan karena sejarah perjalanan hidup.
Hakka dalam konteks sejarah Cina perantauan dan kedatangannya di Bangka
Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara,setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian,Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.Kelompok Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai kelompok pedagang, Kanton sebagai kelompok pengrajin dan tukang kayu. Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Sekali lagi dalam sejarah terjadi bahwa Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia . Meraka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang atau kuli perkebunan. Daerah tujuan mereka jelas, pertambangan emas di Mandor dan Montrado (Kalimantan Barat), tambang timah di Bangka dan Belitung , dan perkebunan karet di Sumatera Timur (daerah Deli dan sekitarnya). Kedatangan Hakka pertama adalah Mandor dan Montrado, pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas. Terjadi sekitar awal tahun 1700. Mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak. Setelah itu disusul oleh pembukaan tambang timah di Bangka sekitar pertengahan tahun 1700 (1770?) dan selanjutnya, tidak lama kemudian adalah Belitung . Hal itu terus berlanjut hingga sekitar pertengahan tahun 1800.Beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka dalam satu perjalanan kapal. Hampir semuanya didatangkan dari Meixien. Mereka adalah para pria yang tidak membawa istri. Ketika kontrak habis pilihan hanya dua, kembali ke Cina atau menetap di sekitar parit itu. Oleh karena itu tidak heran jika kini dapat kita jumpai berbagai permukiman orang-orang Hakka di Bangka, seperti di Jebus (Parit 3, Parit 4, Jampan, Kimjung, Puput Atas), sekitar Sungailiat (kampung Sunghin dan sebagainya), dan Belinyu.
Putusan untuk menetap akhirnya diikuti dengan mengambil wanita-wanita setempat sebagai istri. Selain itu, sistem permukiman mereka tampaknya tidak lagi meniru gaya aslinya, tetapi lebih beradaptasi dengan budaya setempat. Satu yang masih nampak jelas adalah banyaknya toapekong atau tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu. Sistem religi demikian masih dapat kita saksikan di Parit 3. Bangunan yang didirikan menggunakan material dasar kayu, umumnya kayu nyato -sebangsa kayu jati jika di Jawa. Konstruksi tidak lagi mencerminkan kaidah arsitektur Cina kecuali pada beberapa tempat seperti kuda-kuda atap teras.
Begitu pula ragam hias tidak terdapat dalam sistem permukiman itu, agaknya dikarenakan pola kehidupan mereka yang cenderung tidak permanen dan faktor sejarah. Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina mereka lakukan seturut tradisi. Sembahyang Imlek agaknya masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi angpau, dan sembahyang besar. Perayaan Cengbeng atau Cingming adalah perayaan bersih kubur leluhur yang masih dilakukan. Demikian pula Cioko atau sembahyang rebut masih dilakukan, bahkan di klenteng Jampan (dekat Parit3 Jebus) mereka masih membuat patung Raja Setan (Taiseja) dan kemudian membakarnya. Perayaan sembahyang rebut dilakukan oleh semua kelompok dalam kebudayaan Cina. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur pun masih dilakukan dan biasanya diiringi dengan pagelaran Wayang Potehi (Chinese puppet). Namun yang menarik, Bangka memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja dan dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut masyarakat setempat, semua itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur. Sistem kehidupan masyarakat Hakka menjadi penanda khas masyarakat Cina di Bangka, juga hampir serupa terjadi di Belitung . Dalam beberapa waktu mendatang, akankah tradisi yang tua dan kaya itu akan berlanjut? Yang pasti, penelitian-penelitian tentang masyarakat Hakka di bangka belumlah banyak dilakukan.
sumber:http://eddypw.blogspot.com/2009/03/masyarakat-suku-hakka.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar